Angin malam berdesir pelan berhembus diantara sela-sela dedaunan bambu, menerbangkan beberapa helai daunnya yang kering. Dalam keremangan malam itu sesosok bayangan berjalan tergopoh-gopoh menyeruak rerimbunan semak, melompat diantara perdu yang telah basah oleh embun malam. Dari jauh terlihat sebuah pondok kayu, cahaya pelita yang remang menyelinap keluar dari celah-celah dinding kayu yang longgar. Sosok bayangan tadi bergerak mendekati pondok kayu yang sederhana itu seperti hendak mencari penghuni pondok tersebut.
“Tek…tek…tek….!!” Lelaki tersebut mengetok pintu pondok tersebut dengan keras
“Bi Sarip…… “ panggil lelaki itu
‘Krieeeeewwwwtttt………..’ tampak pintu tersebut terbuka dan seorang wanita setengah baya muncul dari dalam pondok.
“Ada apa nak……?” Tanya wanita tersebut
“Tolong bi… istri saya hendak melahirkan..” jawab pria itu
Dalam temaramnya pelita kecil yang tergantung di dinding kayu pondoknya bi Sarip dapat melihat sesosok pria Tegap tinggi besar dan berambut cepak, ia mengenakan kaos yang ketat sehingga lekuk-lekuk otot kekarnya jelas terlihat.
“Maaf kamu siapa yah nak… kok saya tidak pernah melihat kamu di desa ini..dan kamu kok kenal nama bibi?” Tanya bi Sarip penasaran
“Oh… saya Purnomo bi…. Rumah saya di desa tetangga….” Sahut lelaki tadi
“Saya kesini hendak minta tolong bi… istri saya hendak melahirkan, saya dengar bi Sarip biasa menolong orang yang melahirkan…..” lanjut lelaki itu dengan sopan.
Sebenarnya bi Sarip sudah merasa kecapekan malam itu, seharian membantu tetangganya yang sedang memanen sawahnya. Selain menjadi dukun bayi yang menolong orang-orang desa melahirkan, kehidupan keseharian bi Sarip diisi dengan menjadi buruh harian orang-orang desa yang mengerjakan sawahnya ataupun memanen hasil sawah maupun ladang mereka.
“Iya nak…. Meski sebenarnya bibi capek sekali malam ini, namun inilah kesempatan bibi untuk menolong orang-orang disekitar bibi..” sahut bi Sarip
“Tunggu sebentar ya…. Biar bibi ganti baju dan bersiap diri……”lanjut bi Sarip
“terima kasih bi….” Sahut lelaki itu.
Sementara itu malam kian larut dan suara-suara malam kian jelas dan ramai terdengar, dedaunan membiaskan cahaya rembulan yang temaram, memantulkan cahaya-cahaya magis yang siap membius siapa saja yang memandangnya untuk larut dalam dunia gaib tanpa batas. Dan juga bayang-bayang pepohonan yang rimbun tampak seperti mahluk-mahluk raksasa yang mengawasi jalannya kehidupan malam yang damai.
“Cepat yah bi….. istri saya suadah menunggu…..” seru lelaki itu sopan
“Iya…iya… ini bibi masih menyiapkan peralatan buat persalinan nanti biar lancar” jawab bi Sarip
“Iya bi… saya tahu bibi sudah terbiasa menangani persalinan, terima kasih sebelumnya ya bi…” sambung lelaki itu.
“Iya…… ayo bibi udah siap nih” tampak bi sarip keluar dari dalam sambil membawa buntelan kain yang tampaknya berisi alat-alat dia untuk menolong seseorang yang sedang melahirkan.
“Ayo bi……..” sahut lelaki itu sambil berjalan keluar pondok
Sekilas sebelum keluar dari pondoknya, bi Sarip melirik jam dinding usang yang tergantung di dinding pondoknya menunjukkan jam setengah sebelas malam.
‘ngrieeeet…… krek….cekrek…cekrek…!!’ terdengar suara pintu papan yang ditutup dan dikunci rapat oleh bi Sarip.
“Lewat sini bi……..” lelaki itu tampak menunjukkan jalan kepada bi Sarip
Tanpa banyak Tanya bi Sarip mengikuti lelaki itu berjalan di belakangnya berjalan tertatih-tatih di kegelapan malam diantara rerimbunan semak di bawah rimbunnya batang-batang bambu petung yang menjulang tinggi kelangit seakan hendak menancapkan cakar-cakarnya di langit.
Sambil sesekali merapikan kerudungnya bi Sarip berjalan tertatih-tatih mengikuti lelaki itu, senyapnya malam suara binatang malam yang mencekam seakan mengelilingi perjalanan mereka berdua.
“Nak… tunggu sebentar nak…….” Tiba-tiba bi Sarip berhenti dengan napas yang tersengal dan keringat bercucuran di dahinya, tampak dibawah keremangan cahaya bulan wajah setengah baya yang sudah mulai dihiasi keriput itu sangat kelelahan.
“Tapi bi… istri saya sudah menunggu…..” sahut lelaki itu
“Iya… bibi tau… tapi bibi lelah sekali nak….”jawab bi Sarip
“Oh… bi Sarip lelah ya…. Maaf bi… sampai-sampai saya tidak memperhatikan bibi yang kelelahan.. bodohnya saya hanya memikirkan diri saya sendiri… maaf yah bi….” Kata lelaki itu sambil mendekati bi Sarip.
“Iya.. iya.. bibi mau istirahat dulu sebentar……”
“Memangnya di desa mana tempat tinggalmu nak?”Tanya bi Sarip
“Desa SambungRaja bi…..”jawab lelaki itu
“Hah…. Itu kan jauh sekali nak..” sahut bi Sarip kaget
“Siang hari saja bi Sarip pernah kesana dengan jalan kaki selama tiga jam baru nyampai… nah ini malam hari nak… mungkin kita nyamoai disana pagi hari” sambung bi Sarip
Lelaki itu tertegun, dia berdiri mematung tanpa sepatah katapun seperti sedang memikirkan apa yang akan terjadi dengan istrinya jika baru pagi hari mereka sampai, apakah sempat menolong istrinya melahirkan. Lalu ia mendongak ke atas melihat kearah bulan yang hanya samar-samar terlihat karena tersaput awan, lalu tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya ke bi Sarip dan menatap lekat mata perempuan setengah baya itu dengan tajam.
“Ada…. Apa nak….” Kata bi Sarip dengan nada yang sedikit ketakutan
“Jangan takut bi……” sahut lelaki itu
“Mari kita lanjutkan perjalanan kita supaya istri saya tidak lama menunggu” kata lelaki itu sambil meraih tangan bi Sarip
“Pegang tangan saya selama dalam perjalanan ya bi…” sambung lelaki itu
Dengan keheranan bi Sarip hanya menuruti apa yang dikatakan lelaki itu, saat tangan lelaki itu menyentuh telapak tangannya hawa dingin tiba-tiba merasuk melalui telapak tangannya, namun dingin itu bukan dingin yang menggigilkan raga, namun sebuah hawa dingin yang aneh yang seakan melarutkan segala kelelahan dan melenyapkan segala nyeri di tubuh bi sarip, dan bi Sarip merasakan kenyamanan yang luar biasa. Bersamaan dengan itu bi sarip melihat sekeliling, dan dia merasa seolah waktu berhenti berputar, suara-suara malam tadi yang mencekam yang kadang membuat bulu kuduknya berdiri seakan lenyap tak tau entah kemana, angin juga seakan berhenti berhembus sehingga ujung-unjung daun pepohanan yang tadinya bergoyang-goyang diterpa angin, kini diam sama sekali tak bergerak.
Lalu merekapun mulai bergerak dan kaki bi sarip terasa sangat ringan dan lincah bergerak diantara semak dan perdu yang menghalangi jalan mereka, menyeruak didalam heningnya malam yang seakan terhenti saat itu. Perjalanan menyusuri bukit menembus lembah melompati parit-parit kecil meniti pematang sawah, semua mereka lalui dengan mudah dan tak ada rasa lelah di kaki-kaki bi Sarip yang sudah mulai menua itu
Akhirnya mereka tiba disebuah pondok sederhana namun rapid an cantik, yang diterangi dengan sebuah lampu neon putih di terasnya.
“Ini rumah kami bi… istri saya sudah menunggu di dalam” ujar lelaki itu ramah selaku tuan rumah sambil membukakan pintu.
Saat bi Sarip hendak melangkah masuk, tiba-tiba lelaki itu memegang tangannya
“Tunggu sebentar bi….. saya menunggu diluar rumah saja air panas dan beberapa peralatan yang bibi butuhkan sudah saya siapkan di dapur, ini ada sekedar tanda terima kasih untuk bibi, istri saya ada di kamar itu” kata lelaki itu sambil menyerahkan sebuah amplop coklat tertutup rapat dan menunjukkan sebuah ruangan di dalam rumah itu.
Meskipun heran, bi Sarip menerima amplop itu dan memasukkannya di dalam buntelan kain yang dibawanya tadi. Dengan segera dia menuju sebuah kamar yang ditunjukkan lelaki itu. Ketika dia masuk ke kamar itu, tampaklah seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun terlentang di atas tempat tidur dengan perut yang telah membuncit karena kandungannya yang sudah berusia sembilan bulan beberapa hari.
“Aduuuh……. Aaahhhh……” terdengar perempuan itu merintih kesakitan
Bi sarip segera mendekati perempuan itu dan memeriksanya, perempuan itu tampak kaget namun tak mampu bertanya lagi akibat rasa sakit yang sudah sangat menyiksanya.
“Siapa namamu nak……” Tanya bi Sarip
“Yuli bu…….” Jawabperempuan itu
“Iya… kamu sudah akan melahirkan malam ini bibi akan menolongmu…. Tenang saja.. jangan takut, kamu bisa kok…. Ini anak pertama kamu yah…?” lanjut bi Sarip
“Iya bi…… aaaaahhhh…..arggghhhh…. uhhhh…!!!!” jawab perempuan itu sambil terus mengerang kesakitan.
Dengan sigap bi Sarip menolong Yuli melahirkan, dari kesigapannya tampak bahwa bi Sarip adalah seorang yang sangat berpengalaman dalam menolong orang yang melahirkan.
“Oeeeeek…… Oeeekkk………..Oeeeeeekkkkk !!!” tiba-tiba terdengar suara bayi memecah keheningan malam itu, bayi laki-laki yang sehat telah lahir dari rahim perempuan yang bernama Yuli itu dengan pertolongan bi Sarip. Setelah membersihkan bayi itu bi Sarip membungkus bayi itu dengan kain gedong dan meletakkannya disamping Yuli. Setelah selesai membereskan dan membersihkan smua peralatan yang ia gunakan, bi Sarip duduk di samping tempat tidur Yuli sambil member beberapa nasihat bagaimana merawat bayi yang baru lahir.
“Bi…. Darimana bibi tau kalau saya mau melahirkan malam ini…..?”Tanya Yuli tiba-tiba.
“Suamimu yang memberitahu bibi, dia susah payah berjalan jauh untuk memberitahu bibi” jawab bi Sarip
“Su…. Suami…. Sa… saya… bi…. Mas Purnomo… orangnya tinggi, tegap kekar… rambutnya cepak?” sahut Yuli
“Iya nak… dia…..Oh.. iya… dia kan menunggu diluar… bibi sampai lupa memberitahu dia kalau anak kalian sudah lahir” kata bi Sarip sambil dengan cepat berjalan keluar rumah sambil memanggil lelaki itu “Nak… nak pur… anakmu sudah lahir… laki-laki nak Pur… sehat… ganteng lagi..”
Namun di luar bi Sarip tidak menemukan siapa-siapa, hanya desir angin yang berhembus pelan dan suara jengkerik yang sahut-sahutan dan sesekali terdengar suara gongongan anjing nun jauh disana. Bi Sarip lalu mengelilingi rumah itu barangkali Purnomo sedang berada di belakan rumah atau disuatu tempat di sekitar rumah itu, namun bi Sarip tak juga menemukannya. Iapun segera masuk kedalam rumah, dan di kamar Yuli dia menemukan Yuli sedang mengeluarkan air mata, menangis tersedu.
Dengan keheranan bi sarip berkata “Ada apa nak…. Kenapa kamu menangis… kok bi Sarip tidak menemukan suamimu di luar.. kira-kira kemana yah dia?”
“Bi….. Mas Pur…” sahut Yuli namun kata-katanya terhenti oleh sedu tangisnya
“Kenapa nak…” sahut bi Sarip penasaran
“Sebenarnya……” sambung Yuli
“Sebenarnya…. Mas Pur…. su…..dah me…..ninggal sebulan yang lalu” lanjut Yuli diiringi pecah tangisnya yang kian tersedu
“Astaga………….. jadi lelaki itu tadi…….”gumam bi Sarip sambil menengok kea rah jam dinding, dan dia semakin terkejut saat melihat jam dinding masih menunjukkan jam dua belas kurang seperempat malam. Jika sekitar satu jam dia menolong Yuli melahirkan, berarti dia sampai dirumah ini sekitar jam sebelas kurang seperempat, jadi dia melakukan perjalanan dari rumahnya menuju rumah Yuli hanya memakan waktu lima belas menit, padahal jarak tersebut biasanya ditempuh tiga jam dengan berjalan kaki di siang hari.
“Jadi… suamimu… sudah meninggal satu bulan yang lalu?” Tanya bi Sarip untuk meyakinkan diri
“Iya bi… dan tadi saat perut saya sakit sekali dan merasa bahwa saya akan melahirkan saya sudah pasrah.. saya tidak tahu lagi harus berbuat apa karena untuk bengun dari tempat tidur saja saya tidak bisa dan saya hanya bisa pasrah saat itu” jawab Yuli dengan sesekali masih terisak.
Bi Sarip mengeryitkan dahinya yang mulai keriput saaat mengingat bahwa Purnomo memberikan sebuah amplop sebelum dia menolong Yuli melahirkan. Dengan tangan bergetar bi Sarip mengambil amplop coklat itu namun amplop itu tidak ada, yang ada hanya sebuah daun jati berwarna coklat yang dilipat rapi, perlahan bi Sarip membuka daun jati coklat yang sudah kering itu, suara daun jati kering yang dibuka dari lipatannya terdengar memecah keheningan ruangan itu dan tampaklah sebuah cincin emas berhiaskan batu bening berwarna biru di dalamnya.
“Saat Purnomo mempersilahkan bibi masuk kerumah tadi, Purnomo menyerahkan ini di dalam amplop coklat, namun amplop itu telah berubah menjadi daun jati” ujar bi Sarip
“Cincin itu memang milik mas Pur bi… pesannya yang terakhir sebelum dia meninggal karena sakit adalah meminta supaya cincin itu dipakaikan pada jarinya saat ia dimakamkan” lanjut Yuli
Malam itu keduanya larut dalam cerita-cerita tentang Purnomo dan kejadian aneh yang dialami mereka terutama bi Sarip. Kadang Yuli tersenyum dan tertawa saat menceritakan masa-masa indahnya dengan Purnomo dan kadang dia menangis saat mengingat bahwa suami yang sangat dicintainya telah meninggalkannya, namun dia bersyukur karena meskipun alam mereka telah berbeda, Purnomo masih bisa melindunginya dengan caranya sendiri, sementara malam telah beranjak menjadi pagi, dan sang surya telah kembali merengkuh bumi dengan cahayanya yang mulai semburat di ufuk timur.
seandainya ada suami yg sebaik itu hiks.....
ReplyDeleteWow ..... luar biasa , sebuah cerita yang semestinya mengundang bulu-bulu merinding ..ternyata mengandung suatu hikmah akan betapa besarnya enerji cinta sang suami.
ReplyDeletenice sharing...
Saya angkat jempol untuk perjuangan para dukun bayi yang dengan keikhlasan dan penuh perjuangan. Hal yang sama juga untuk bidan serta tenaga medis dan dokter di daerah terpencil...
ReplyDeleteMas, ini cerpenkah? fiuh, berlari hebat jantung saya membacanya :)
ReplyDeleteTernyata, mas jago juga membuat cerpen.
pasti ada suami sebaik itu... btw sekedar komentar hihihi...
ReplyDeletemampukah aku menjadi suami seperti itu, insya allah, amin ya alloh
ReplyDeletebaik juga suaminya ya?
ReplyDeletelha tappi kok banyak kejadian aneh
mantap neh mas cerpennya
Cinta......Ternyata masih ada ketulusan dan kesetiaan cinta......
ReplyDeletejiahhhh, mas saya merinding nih, baca nya sendirian lagi,,, aihhh, jam 10 pula, aihhhh
ReplyDeletesampeyan baru menghayal apa sih mas... wakaka...
ReplyDeleteSemakin mantap saja cerita-ceritanya...
ReplyDeletewoooow ceritanya makin keren aja neh...siiip
ReplyDeleteWah..., mbak Fanny dapat saingan berat nih.. hehehe...
ReplyDeleteBagus mas ceritanya. Sip lah...!
Ohya, jangan lupa ambil award di tempatku ya ?
ckckck..suami yang seperti itulah idaman setiap wanita.
ReplyDeletebtw..sekarang udah bisa komen lagi.hehehe
berkunjung di pagi hari mencari secangkir kopi
ReplyDeleteSalam Cinta Damai dan Kasih Sayang
ReplyDelete@Kangboed: Salam balik Kang
ReplyDelete@bunga Raya: monggo
@Henny: udah bisa ya....
@Reni: sebenernya tiada maksud saing menyaingi mbak, hanya menumpahkan ide yang mendesak di kepala ini. Siap mbak, award udah dijemput.. tinggal tunggu jadwal posting, thanks mbak
@buwel:terima kasih
@rco: terima kasih
@suryaden: cuman mengekspresikan imaginasi yang mendesak di kepala mas.
@JONK: he..he.. merinding yah...
@Prof: semoga bukan hanya ada di cerita
@attayaya:lha emang genrenya seperti itu bang
@semut:semoga cak
@jengsri:moga bisa dapet suami yg hebat jeng
@zujoe: pasti ada joe
@anazkia: thanks Naz
@bigsugeng: iya om.. kadang mereka berjuang tanpa penghargaan sama sekali
@kabasaran: itulah hal yang ingin kusampaikan,thanks
@cerpenis: moga bukan hanya dalm cerita ya..